Friday 27 August 2010

Kenangan dari Anak Gunung Krakatau


Ternyata kemarin (27 Agustus) merupakan perayaan meleduknya Gunung Krakatau di Selat Sunda. Meluduk kok diraya'in yak?! Ya,ada hikmahnya sih bagi dunia pariwisata di Indonesia. Kebayang gak sih kalau ledukannya kedengeran sampai 4.600 kilometer dan didengar oleh seperdelapan penduduk bumi. Itu selevel dengan 200 megaton bom TNT atau 13.000 kali lebih dahsyat dari bom yang meleduk di Hiroshima Jepang. Dalam waktu 2 hari bikin 7 tsunami en meluluh lantakkan 165 desa dan kota sepanjang Lampung dan pesisir Banten. Ini sih katanya paman Simon Winchester ahli geologi dari University of Oxford di Inggris sono. Kok ngerti'an dia daripada kita yang orang Indonesia yak?
Btw saya juga pernah memilih Krakatau sebelum 7 Keajaiban Alam diluncurkan untuk dipilih oleh penduduk dunia. Yang masuk nominasi akhirnya Pulau Komodo.
Saya juga punya tragedi story di daerah ini. Serem-nya sih gak ada apa-apanya dibandingkan saat Krakatau meleduk! Bahkan jika mengenang kisah ini saya suka tersenyum...indah jadinya kenangan itu ;-) Kejadian di tahun 1991 tersebut adalah saat kami ingin berkunjung ke Pulau Gunung Anak Krakatau. Kami bertolak dari Pulau Peucang seberang Ujung Kulon Pulau Jawa dengan kapal motor yang kami carter. Di kapal hanya ada saya, ibu saya, Luthi (teman seperjuangan di Ujung Kulon – Hi Luthi Ismira, dimana kamu sekarang? Terakhir saya mengerti keberadaannya saat ia menjadi pemenang utama Pemilihan Gadis Sunsilk.), Yos (cowok Bogor lulusan FMIPA UI yang sedang saat itu sedang cuti dari pekerjaannya di Sclumberger Oman...Timur Tengah sono!), Pak Ateng (Tour leader kami) dan 2 (or 3) petugas kapal motor.
Kapal motor kami mengalami kerusakan tak seberapa jauh dari gugusan kepulauan Krakatau. Kapal kami mengapung-apung selama 2 hari di hadapan Pulau Gunung Anak Krakatau. Tak ada daratan berpenghuni yang kami lihat, tak ada kapal yang bisa menolong kami. Mutlak hanya Allah swt merupakan Sang Penolong. Malam hari memang terlihat kapal tongkang besar melintas beberapa meter dari kapal kami, namun mereka sepertinya tidak melihat kami. Malam hari begitu pekat...ditengah lautan hanya berpemandangan Anak Gunung Krakatau yang ingin kami jangkau terpatri di hadapan kami berkilau memantulkan cahaya bulan. Ketika ombak mengombang-ambingkan kapal ibu saya muntah-muntah. Alhamdulillah, ada persediaan makanan yang tidak membuat kami kelaparan. Siang hari saya, Luthi (yang saat itu sedang liburan dari Sekolah Menengah Pariwisata) dan Yos duduk di dek kapal sambil mengobrol. Ibu saya beristirahat di ruang kecil kapal, dan para pekerja kapal membenahi mesin motor kapal agar kami dapat kembali ke daratan dengan selamat.
Alhamdulillah, kami bisa kembali ke Labuhan Banten dengan selamat setelah 2 hari mengapung-apung di Selat Sunda walaupun kami tidak menjejakkan kaki di Kepulauan Krakatau.Mobil travel yang menjemput kami telah meninggalkan kami dari Labuhan. Pak Ateng segera mengambil tindakan mencarter angkot untuk mengantar kami ke Jakarta. Memang tidak seimbang dengan fee dollar yang kami bayarkan...bayangin tour bayar pakai dollar US tapi dipulangin naik angkot ke Jakarta?! Ibu saya sempat menggerutu, tapi akhirnya beberapa bulan kemudian ibu saya tertawa senang ketika saya memenangkan Lomba Karya Tulis Pariwisata TMII se-ASEAN kategori Laporan Perjalanan karena saya menulis tentang perjalanan ke Ujung Kulon dengan judul 'Ujung Kulon Menebar Pesona ke Penjuru Dunia' dengan beraneka ragam hadiah yang nilainya lebih dari paket tour ke Ujung Kulon – Krakatau tersebut, termasuk tiket dari Garuda Indonesia Jakarta – Jogjakarta pulang pergi.